Bagan Siapiapi merupakan sebuah kota kecil di Kabupaten Rokan Hilir. Pada era kepemimpinan Bupati Annas Ma'amun (kini Gubernur Riau 2014-2019 non Aktif), dilakukan perubahan yang cukup signifikan di Kabupaten ini, yaitu revolusi bangunan perkantoran dan pelayanan publik dengan desain arsitektur atap kubah. Sejak saat itu, Bagan Siapiapi dijuluki sebagai Negeri Seribu Kubah.
Kali ini Nanda belum bercerita banyak tentang arsitektur bangunannya, tetapi tentang Akulturasi Budaya di daerah tersebut. Berdasarkan data BPS 2011, jumlah populasi etnis Tionghoa di Indonesia sebanyak 2.832.510 orang dimana sebaran etnis tionghoa suku Hokkian di daerah Riau dan Kepulauan Riau termasuk dalam daerah dengan sebaran etnis Tionghoa yang signifikan.
Jumlah yang banyak tersebut lantas tidak mempengaruhi budaya melayu asli di Bagan Siapiapi, begitupun sebaliknya. Sebagai pendatang, masyarakat Tionghoa tetap memegang teguh budaya dari nenek moyang mereka. Saat perayaan ritual bakar tongkang / Go Cap Lek , etnis Tionghoa sangat khidmat dalam euphoria yang sudah menjadi agenda tahunan Visit Indonesia dan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir. Begitupun saat menjelang hari Raya Idul Fitri, masyarakat muslim pribumi tetap leluasa melaksanakan pawai dan takbiran di setiap jalanan di Bagan Siapi-api. Pada kehidupan sehari-hari pun begitu, Adzan masih terdengar syahdu di masjid, dan tabuhan gong dan bau dupa/kemenyan tetap lekat.
Foto dibawah ini, merupakan salah satu contoh akuluturasi budaya melayu dan Tionghoa dimana aksara arab melayu masih dilestarikan dan aksara Tionghoa tidak terlupakan, model penulisan billboard seperti ini juga dapat dijumpai pada sebagian besar marka nama jalan di Bagan Siapiapi. kedua budaya hidup berdampingan tanpa menghilangkan ciri khas dari masing-masing budaya.