Minggu, 30 Januari 2011

Galau Memikirkan Masa Depan

Masa depan..??
Ya, mungkin sama dengan cita-cita. Cita-cita itu, sesuatu yang ingin dicapai dimasa depan, dan masa depan itu mungkin sama dengan cita-cita. Cita-cita itu, sesuatu yang ingin dicapai dimasa depan, dan masa depan itu mungkin sama dengan cita-cita. Cita-cita itu, sesuatu yang ingin dicapai dimasa depan, dan masa depan itu mungkin sama dengan cita-cita. Begitu seterusnya. Cita-cita itu berkaitan dengan masa depan, tapi masa depan kadang bertolak belakang dengan apa yang kita cita-citakan. Jika anak balita atau anak usia Sekolah Dasar ditanya apa cita-cita mereka, jawaban mereka -biasanya-, dokter, tentara, superman, polisi, guru, pegawai bank, artis, penyanyi,presiden, dan profesi umum lainnya. Jarang sekali mereka mengatakan bahwa mereka ingin menjadi pegawai ticketing bioskop, receptionist, cleaning service, sutradara, supir taksi, fotografer, produser, dan profesi-profesi aneh lainnya. Dan yang lebih anehnya, mengapa cita-cita itu slalu berkaitan dengan sebuah profesi..??. Tampaknya pertanyaan itu tidak harus dijawab.
Waktu kecil aku pernah bercita-cita menjadi polwan, kemudian berganti menjadi pegawai bank, kemudian berganti lagi menjadi dokter spesialis anak, pernah juga aku ingin menjadi Putri Indonesia perwakilan Riau, kemudian menjadi presenter, menjadi guru, ahli gizi, dokter syaraf, dokter kulit, dokter bedah, kemudian wartawan, kemudian kembali lagi ingin menjadi dokter, dokter apapun itu, dengan alasan, -menurut banyak orang-aku pintar, sayang kalau otaknya tidak dimanfaatkan. Sejak saat itu aku belajar, belajar biologi, fisika, kimia, matematika, dan semuanya ku pelajari, tujuan hidupku saat itu: mempertahankan juara di kelas, dapat nilai tinggi, sering ikut lomba, disayang guru, dapat beasiswa untuk kuliah di tempat terkenal, tempatnya pembelajar sejati berburu ilmu, tapi cita-cita untuk menjadi wartawan tidak pernah ku lupakan, aku tetap menulis, mengkritik setiap kejadian aneh di sekolah, mewawancarai Ibu Gubernur yang berkunjung ke sekolah bahkan menjadi panitia buku tahunan. Tidak cukup sampai disitu, aku adalah orang yang berfikir untuk masa depan ku, solat ku tidak lagi 5 kali sehari semalam, tapi tujuh kali, ditambah Dhuha dan Tahjud, aku adalah orang yang dekat Tuhan, saat itu. Hingga akhirnya usaha panjang itu terkabul, aku diterima di Institut Pertanian Bogor, melalui jalur beasiswa, bertemu dengan orang-orang pintar, dan menjadi orang yang -disebut- pintar. Namun, kompas ku terjatuh, hancur dan arahnya kacau balau, masa transisi, labil, dan mencari identitas ku bukan pada masa SMP atau SMA seperti teman sebaya ku. Aku mengalami itu ketika kuliah di Tingkat Persiapan Bersama IPB. Terlambat memang. Aku berteman dengan anak-anak yang sangat jauh berbeda dengan teman-teman ku di seberang pulau sana. Aku tidak melakukan kebaikan apapun selain bolak balik Jakarta-Bogor untuk bertemu Arya tentunya dan menghabiskan uang di rekening ku hanya untuk bersenang-bersenang. Kapal ku terombang ambing, bahkan hampir karam ketika hubungan -percintaan- ku dengan Arya berakhir. Ini fakta, kawan. Tapi, -untuk kesekian kalinya kukatakan padamu- Tuhan ku sangat sayang padaku, dia memberikan ku jati diri yang sesungguhnya, yang membuat ku nyaman, aman, tentram, bahagia dan merasa benar-benar menjadi diriku sendiri saat aku bertemu sosok cerdas dan tajam di Koran Kampus, jadi diri ku semakin matang ketika aku kembali bergabung dengan Kepengurusan CSS MoRA IPB. Bersama mereka aku tau arti berhemat, arti cinta yang sesungguhnya, arti menghargai waktu, dan arti-arti yang lainnya. Disana, aku mengalami yang namanya proses pendewasaan diri. Kini, setelah aku -merasa- dewasa, aku menemukan cita-cita ku yang sesungguhnya: Wartawan, fotografer, orang yang hidupnya berhubungan dengan kamera dan komputer. Satu hal yang harus kau tau kawan, aku mengenal kamera dan efek gambar belum genap setahun, aku mengerti dunia itu belum lama, tapi mengapa, setiap ada tugas atau event yang berhubungan dengan mereka bertiga aku bersemangat, sangat semangat hingga mereka kini menjadi prioritas ku. Aku tidak lagi menjadi anak yang memikirkan nilai ujiannya, menjadi nanda yang santai dan lebih stabil keceriannya.
Sudah, aku sudah mantap, aku sudah melihat jalan itu, jalan menuju masa depan, jalan untuk mengambil sesuatu yang ada di kotak kaca di ujung lorong remang-remang yang panjang, sangat panjang, isinya didalam kotak itu adalah mereka bertiga, mereka yang barusan kuceritakan. yang membuat aneh adalah, aku galau, tidak tau untuk apa dan karna apa. Hati ku semakin menciut, lensa kamera ku semakin seperti tidak berguna ketika aku melihat hasil jepretan mereka, aku merasa benar-benar bodoh, tidak bisa apa-apa. Tuhan..., ini lah yang membuat aku semakin galau, semakin merasa sedih, dan semakin merasa tidak mampu untuk melakukan apapun untuk masa depan ku, aku galau memikirkan masa depan.Padahal, untuk apa aku berpusing-pusing memikirkan masa depan, aku perempuan yang suatu saat akan dilamar seorang lelaki -ntah super atau tidak- kemudian hidup bersamanya dan menuruti semua peraturan darinya, seperi teman-teman ku, sebagian dari mereka sudah menjalani intro dari masa depannya disaat aku masih galau memikirkan masa depan ku. Tapi tetap saja, aku galau, galau untuk kesekian kalinya, galau memikirkan masa depan.

2 komentar:

  1. wah... sering ganti2 cita2 nih,
    mending jadi polwan aja... bokap gw polwan kog o_0

    BalasHapus
  2. hehe, polwan tu waktu gw tk ka, udah ga boleh dijadiin cita2 lagi, hehe

    BalasHapus