Sabtu, 10 November 2012

Defungsionalisasi Guru. Mengupas Fakta Kurikulum Pendidikan Indonesia

Saat ini, kurikulum pada sekolah formal, seperti sekolah dasar menggunakan kurikulum yang menganut metode 'Student Center Learning' atau nama lain yang dalam implementasinya meminta atau bahkan memaksa peserta didik untuk belajar mandiri. Metode tersebut ternyata telah merubah bahkan mengurangi fungsi guru sebagai tenaga pendidik. Hal ini dikarenakan didalam kurikulum tersebut guru hanya membacakan pembukaan satu bab mata pelajaran, selebihnya siswa yang harus belajar sendiri dan menyelesaikan permasalahannya. Siswa kebingungan, orangtua pun 'menambah' jam belajar anak dengan mencarikan guru les untuk menunjang agar anak bisa memahami pelajaran dengan baik. Kegiatan les tersebut dianggap sebagai peluang bisnis bagi sebagian besar orang pintar. Harusnya, jumlah bimbingan belajar yang semakin banyak, baik yang resmi sebagai lembaga maupun tidak resmi menjadi catatan bagi dewan sekolah bahwasanya sekolah tidak lagi berfungsi untuk mendidik anak, melainkan hanya lembaga yang melayani legalisasi ijazah dengan masa tunggu enam tahun. Lalu, apa tugas guru, bukankah didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan tepatnya pada BAB XII Pasal 171 ayat (2) sudah menjelaskan bahwa guru merupakan pendidik profesional yang bertugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Namun pada kenyataannya, guru hanya membacakan sedikit materi tanpa penjelasan rinci apalagi contoh, tanpa pengarahan dan bimbingan peserta didik kemudian diminta menyelesaikan soal-soal yang kemudian dinilai dan guru bisa 'menghakimi' setiap muridnya sebagai anak yang bodoh karena salah dalam menjawab soal, anak yang pintar karena mendapat nilai 90 , anak yang malas karena lupa mengerjakan pekerjaan rumah, dan anak yang rajin karena mengumpulkan tugas tepat waktu. Padahal, tanpa disadari, penghakiman tersebut akan menempelkan label pada peserta didik yang membuat mereka akan kehilangan semangat belajarnya. Sebagian besar mungkin melupakan atau terpengaruh dengan tuntutan kurikulum yang ada, sehingga banyak yang berminat menjadi guru, dengan alasan klasik 'Guru itu selalu dibutuhkan dan aklau sudah PNS hidupnya akan terjamin' . Tetapi, lupakah kita akan tanggung jawab untuk mengayomi peserta didik kita, mengajarkan nilai-nilai kebaikan secara jelas, dan mempersiapkan anak kita untuk mampu menghadapi tantangan kehidupan masyarakat yang semakin mengarah kepada kuadran amoril. Tugas guru bukan hanya memberikan soal-soal olimpiade sains, tanpa menunjukan eksperimen ilmiah dan alasan yang jelas terkait bukti-bukti ilmiah yang harus dijawab dengan benar oleh anak. Terlebih untuk anak sekolah dasar, fungsi guru seharusnya menanamkan rasa percaya diri pada anak untuk terus belajar meski 'salah' sehingga anak akan cinta kepada ilmu pengetahuan, memiliki rasa ingin tahu dan tidak takut lagi untuk datang ke sekolah. Bukan salah guru, bukan pula salah pihak sekolah atau pemerintah yang membuat kebijakan kurikulum, tidak ada yang perlu disalahkan. Karena, sekarang saatnya kita membuka mata kita, mengapa anak-anak kita takut dan tidak bersemangat ke sekolah, mengapa anak kita kurang menghormati guru lagi, mengapa anak kita lebih menyukai hari libur daripada hari sekolah. Saatnya kita mulai menyadari dan kembali kepada esensi pendidikan seperti yang diutarakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan berguna untuk mengeluarkan manusia dari kebodohan dan memberdayakan mereka. Apa jadinya kalau anak-anak kita tidak mau lagi sekolah hanya karena 'takut' dengan guru?. Apa jadinya kalau guru tidak lagi dipandang sebagai 'Pahlawan tanpa tanda jasa?' di mata peserta didik. Apa jadinya kalau guru hanya dipandang sebagai PNS atau pegawai sekolah yang menyebalkan dan membawa kesulitan?. Masihkah kita diam?. Saatnya Merah Putih Berkibar, Saatnya Indonesia Maju melalui Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar